Jumat, 03 Februari 2017

Perkembangan Pemerintah Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi


Perkembangan Pemerintah Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi


Pendahuluan
      Secara konstitusional, peran dan kedudukan Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah amandemen  UUD 1945, belum mendapatkan kejelasan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan tidak jelasnya peran dan kedudukan Wakil Presiden.
      Pertama, kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden, sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2). Sebagai Pembantu Presiden kedudukan Wakil Presiden menjadi setara dengan menteri yang juga sama-sama sebagai Pembantu Presiden. Wakil Presiden hanya merupakan the second man (orang kedua);
      Kedua, Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden, sebagaimana layaknya status menteri sebagai Pembantu Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden; dan
       Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan, belum pernah ada Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada rakyat. Pertanggung jawaban selalu dibebankan kepada Presiden.Karena itu, posisi Wakil Presiden sebagai “Pembantu Presiden menjadi kurang amemiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan oleh beberapa alasan:  Pertama, dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang, jabatan Wakil Presiden tidak mempunyai wewenang apa-apa. Fungsinya hanya menggantikan Presiden; Kedua, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, Negara Republik Indonesia pernah tidak memiliki Wakil Presiden. Pada masa pemerintahan  Soekarno (1956-1967), Presiden berjalan sendiri menjalankan roda pemerintahan, tanpa didampingi oleh Wakil Presiden. Mohammad Hatta yang diangkat sebagai Wakil Presiden pada tanggal 18 Agustus 1945,  mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 1 Desember 1956. Sejak Mohammad Hatta mengundurkan diri, jabatan Wakil Presiden tidak pernah diisi. Demikian pula, pada masa awal pemerintahan Soeharto (1967-1973). Presiden Soeharto diangkat oleh MPRS sebagai Pejabat Presiden, tanpa ada pengangkatan Pejabat Wakil Presiden. Pada waktu Sidang Istimewa tanggal 7-12 Maret 1967 yang mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor; XXXIII/MPRS/1967 mengenai pencabutan kekuasaan pemerintahan Soekarno sekaligus menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Presiden, posisi Wakil Presiden tidak disinggung. Indonesia baru kembali memiliki Wakil Presiden, setelah diangkatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 25 Maret 1973.  Pada kenyataannya, meskipun tanpa Wakil Presiden, pemerintahan dapat berjalan;  Ketiga, hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada setiap masa mempunyai karakter yang berbeda-beda.
      Tulisan ini, akan mencoba menelaah peran Wakil Presiden RI pertama, Drs. Mohammad Hatta. Bagaimanakah sesungguhnya peran Mohammad Hatta selama menjabat sebagai Wakil Presiden? Apakah selama masa jabatannya, Wakil Presiden tidak memiliki kewenangan apapun. Atau sebaliknya, dari beberapa kebijakan politik yang diambil oleh Mohammad Hatta, justru pada masa awal pemerintahan RI, Wakil Presiden memiliki peran yang cukup penting. Dengan seiring perkembangan politik dan social Indonesia penerus bangsa ini akan menjadi lebih baik atau sebaliknya?







Pembahasan
  1. A.    Masa pemerintahan orde lama
       Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno diIndonesia.Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dansistem ekonomi komando.Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden danMohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: SumatraKalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa BaratJawa TengahJawa TimurSulawesiMaluku (termasukPapua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.  Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalam Politik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga  konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya  telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta,  pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMUNIKASI DAN JARINGAN

Komunikasi Data dan Jaringan Komputer Komunikasi Data dan Jaringan Komputer a. Jaringan Komputer Jaringan komputer adalah kumpul...