Jumat, 03 Februari 2017

PERKEMBANGAN KULINER DI IBU KOTA
Dunia kuliner di Jakarta tampak semarak dalam beberapa tahun terakhir ini. Setiap hari pasti ada saja restoran baru, mulai dari restoran mewah di hotel berbintang dengan grand launching party, hingga restoran di kompleks perumahan dengan diskon pembukaan, sampai warung tenda yang tiba-tiba nongol hari ini padahal kemarin belum ada.
Makanan dari seluruh penjuru Indonesia bisa ditemukan di Jakarta. Terdapat ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu rumah makan yang menyediakan kuliner Minang, Sunda, Jawa, dan Betawi. Etnis Tionghoa dengan beragam sub-etnisnya juga banyak yang membuka restoran, seperti di kawasan Pangeran Jayakarta yang terkenal sebagai kantung etnis Tionghoa asal Kalimantan Barat atau daerah Muara Karang yang dihuni Tionghoa asal Sumatera Utara. Belum lagi restoran lain yang terkenal dengan makanan khasnya. Siapa yang tidak kenal dengan Restoran Beautika di Hang Lekir? Atau Lapo Ni Tondongta di Senayan? Bahkan kuliner dari Papua pun terwakili di Jakarta dengan restoran Yougwa di kawasan Kelapa Gading.
Namun, tak hanya makanan nasional saja yang menyesaki ibu kota kita, restoran yang mengusung kuliner mancanegara pun sangat banyak di Jakarta. Mau masakan Italia, Prancis, Jerman, atau Turki? Tinggal datang saja ke daerah Kemang. Pingin makan sashimi? Kunjungi saja kawasan Little Tokyo di Jalan Melawai. Sementara itu, di daerah Sunter dan Pasar Baru, ada sejumlah restoran India dan Pakistan dengan pilihan menu yang sangat otentik. Tak hanya itu, restoran waralaba asing pun berjejalan di mal-mal Jakarta, mulai dari yang amat populer seperti McDonald’s, Starbucks, Burger King, Sour Sally, hingga yang kurang bergaung seperti Corica dan Andersen’s Icecream.
Mampukah kuliner lokal menghadapi kuliner asing
Persaingan yang begitu terbuka antara kuliner lokal dan mancanegara kadang kala menimbulkan kecemasan tersendiri. Mampukah kuliner lokal kita menghadapi kuliner asing, terutama waralaba asing yang telah begitu terkenal?
Jawabannya tentu tergantung pada segmen pasarnya. Di segmen bawah, sangat kentara bahwa nasi goreng, bubur ayam, atau bakmi ayam masih jauh lebih unggul daripada hamburger atau sushi karena segmen bawah masih lebih mengutamakan makanan berbasis nasi/mie atau yang harus dimakan sebagai lauk nasi. Lihat saja tenda bubur ayam Bang Tatang dan nasi uduk betawi Bang Udin yang begitu terkenal di daerah Rawa Belong, Palmerah, atau bebek goreng khas Surabaya yang sempat ngetren di Jakarta tahun lalu, seperti bebek goreng Joko Putro atau Bebek Ireng. Kepopuleran tempat-tempat makan itu nyaris mustahil dapat disaingi kuliner asing.
Sementara itu di segmen menengah, peta persaingannya dapat dikatakan seimbang. Masyarakat kelas menengah bisa memilih antara kuliner lokal dan kuliner mancanegara. Lihat saja di kawasan Kelapa Gading, berbagai macam masakan tradisional sampai masakan khas mancanegara tumplek menjadi satu di ruko-ruko sepanjang Boulevard Kelapa Gading. Restoran yang menyajikan makanan khas Aceh, Sunda, Palembang, Manado, atau Makasar bersebelahan dengan restoran yang menjual pizza, steak, sushi, atau bulgogi. Sedangkan di mal-mal, bertebaran cabang Sate Khas Senayan dan juga Kafe Betawi yang menyuguhkan kuliner lokal dengan kemasan yang lebih menarik.
Namun di segmen atas, kuliner asing boleh dikatakan mendominasi. Restoran-restoran fine dining hampir semuanya menyajikan kuliner mancanegara, baik itu dari Prancis, Italia, Jepang, atau pun dari bangsa-bangsa lain. Untunglah dalam beberapa tahun belakangan ini, mulai muncul restoran yang mengusung kuliner lokal dengan konsep fine dining, misalnya saja Kembang Goela, Lara Jonggrang, atau Warung Babah. Dengan desain menarik dan penyajian makanan yang menggugah selera, serta, tentu saja, harga premium, restoran yang demikian mampu bersaing dengan kuliner asing dan sekaligus memperkenalkan kuliner lokal ke dunia luar.
Bagaimana bisa bertahan?
Tak dapat dipungkiri, masyarakat kita tentu lebih akrab dengan kuliner lokal dan hal ini menjadi keunggulan yang sulit ditandingi oleh kuliner mancanegara. Tidak peduli masyarakat kelas bawah maupun kelas atas, makanan pokok orang Indonesia tetaplah nasi, bukan roti atau kentang.
Namun demikian, salah satu kelemahan kronis yang sering terjadi pada restoran yang menyajikan makanan lokal, adalah ketidakmampuannya menjaga mutu dan konsistensi rasa. Lihat saja Nasi Udang Bu Rudi yang begitu populer di Surabaya. Cabangnya di Kelapa Gading hanya mampu bertahan setahun karena kualitas makanannya jauh di bawah induknya di Surabaya. Ada pula restoran yang rasa makanannya berubah-ubah setiap kali dicoba. Kadang hambar, kadang terlalu asin. Jika kedua faktor ini dapat diperhatikan dan diatasi, tentu kuliner lokal akan semakin kuat pamornya.
Animo masyarakat akan perkembangan dunia kuliner juga turut mempengaruhi apresiasi terhadap kuliner lokal. Banyaknya acara-acara kuliner yang kini ditayangkan di televisi tentu sangat membantu dalam memperkenalkan kuliner lokal ke masyarakat. Banyaknya event kuliner yang sering diadakan di Jakarta, seperti Festival Jajanan Bango juga semakin memperkaya pengetahuan dan apresiasi akan kekayaan kuliner kita.
Kami berharap bahwa suatu saat kelak, kuliner lokal Indonesia dapat melebarkan sayapnya, sehingga tak hanya digemari di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri seperti halnya makanan Thai atau Jepang yang sudah dikenal luas masyarakat dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMUNIKASI DAN JARINGAN

Komunikasi Data dan Jaringan Komputer Komunikasi Data dan Jaringan Komputer a. Jaringan Komputer Jaringan komputer adalah kumpul...